Kenang-kenangan dr. Abdul Halim: Bab VIII

Picture: Here

VIII. MENJEMPUT TOKOH-TOKOH PDRI

T : (Pada) pertemuan-pertemuan kita yang telah lalu, mulai dari yang pertama sampai yang ke enam Bapak telah menceritakan kepada saya berbagai masalah yang Bapak alami sejak tahun 1942; sejak Jepang masuk, sampai ke Indonesia Merdeka dan kemudian tahun 1947. Sebelum Bapak menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia di Yogya, ada masalah-masalah yang sangat penting yang kiranya dapat Bapak ceritakan, umpamanya saja menjelang penyerahan kedaulatan.

J : Baik. Yang antara lain masih terasa pada tahun 1949, yaitu Peristiwa Serangan 1 Maret 1949 di Yogya, [yang] mempunyai efek politis sangat besar ke luar. Itu berarti bahwa perlawanan kita belum padam. Walaupun juga kita merasa [kemudian] ada side effect ataupun kick backdari Belanda, bagi kami yang tetap tanggal di dalam kotaYogyakarta. Tentara kita setelah menyerang mengundurkan diri ke luar kota.

T: Bapak dalam kota waktu itu.

J : Dalam kota, di rumah sakit saya. Saya alami dan lihat sendiri bagaimana Belanda menembak dengan membabi buta. Tanpa disangkanya seorang perempuan membuka pintu jendela, langsung saja diternbak oleh Belanda. Mereka kalap berhubung dengan serangan itu. Saya tetap pada pendirian bahwa kebenaran itu mesti dikatakan, bagaimana pahitnya. Beberapa hari sebelum serangan itu dilaksanakan, datang kurir pada saya dari Senderal Bambang Sugeng dari Sindoro-Sumbing, membicarakan soal serangan umum yang akan datang. Saya memberikan pertimbangan. Saya tidak anjurkan, karena saya sudah bisa bayangkan, akibat dari itu kota Yogya yang akan merasakannya, penduduk yang tidak bersenjata. Saya sebetul­nya hanya menyatakan, cobalah pertimbangkan baik-baik apa ini kalian harus laksanakan apa tidak. Saya tidak akan membantah bahwa efek poli­tis daripada kejadian ini akan sangat besar di luar. Artinya juga sangat be­sar mempertinggi moral. Sebaliknya saudara-saudara harus mengetahui, saya salah satu orang yang tetap di Yogya yang akan menghadapi segala­nya sesudah penyerangan. Dan ini mermang terlaksana. Paling kurang entah 30 atau 50 orang di dekat saya yang dituduh, dikeluarkan dari kampung­nya atau rumahnya, di-dril. Kayaknya [Belanda] sudah mata gelap ya. Te­rus Letnan Bakker yaitu orang, namanya semacam IVG, kalau tidak salah semacam Intel, semacam Gestapo-lah begitu.

T : Semacam BAKIN sekarang ..

J: Ya BAKIN sekarang. [Datang] ke rumah sakit. Bukan tanggal 1 Maret atau 2 Maret, kira-kira 5 hari sesudah itu begitulah. Datang kepada saya.
Saya diajak masuk semua zaal-zaal rumah sakit.”Semua pura-pura jadi tani sekarang, kalau malam bawa senjata”, kata Letnan itu. Saya diam saja. Dia sudah kenal saya. Sebelumnya, paling kurang sudah enam kali saya diangkat dari jalanan ke Markas Besar Kolonel van Langen. Nah saya sendiri ketika [serangan] itu terjadi, pagi-pagi sirene [berbunyi] pukul 5, saya belum percaya bahwa itu sudah serangan Umum 1 Maret. Pagi-pagi itu di
Bethesda-Gondokusuman betul-betul sudah ramai. Tidak tahu berapa lama saya termenung, berpikir apa yang akan terjadi. Menurut ingat saya [utusan] PBB datang kepada saya akhir Maret itu. Mungkin juga dibangunkan oleh Serangan 1 Maret. Saya ulangi lagi Letnan Bakker datang ke rumah sakit Bethesda-Gondokusuman pada suatu hari. Ia berbahasa Belanda, “dr. Halim, [serangan 1 Maret] ini dilahirkan karena ada yang melindungi di belakang. Saya telah menangkap kurir dr. Halim yang ke Kulonprogo”. Kulonprogo itu di mana Simatupang bermukim, dengan wehrkreise di situ. “Dan dia sudah mengaku. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa karena dr. Halim besok akan menerima tamu sangat tinggi”, katanya. Dia bilang, “sangat tinggi, hoge gasten“. Saya masih ejek, saya tidak percaya. Saya bilang, berapa tinggi gitu, “Oh” dia bilang, “saya ini serius. Saya dikirim ke sini oleh Kolonel Van Langen”, yang menguasai Yogya. Jadi Panitia PBB akan datang tiga orang: satu Amerika, satu Australia dan satu Belgia. “Tiga orang, untuk dr. Halim”. Saya ulangi sekali lagi; “karena itu saya sekarang tidak bisa berbuat apa-apa kepada dr. Halim, walaupun saya sudah mendapat bukti”. Kartu dr. Halim terlalu tinggi buat dia waktu itu. Dia bilang, “di mana tuan akan menerima tamu agung itu. Kolonel van Langen menyampaikan salam dan mengatakan bahwa seluruh staf kwartir Kolonel van Langen disediakan untuk dr. Halim dalam menemui tamu tinggi itu”. Saya katakan, kok lucu Letnan. Itu tamu buat Kolonel Van Langen atau buat saya. “Voor U”, ya buat tuan [katanya] .

T: Kenapa harus ke Bapak.

J: Saya tidak tanya. Dia bilang, “dari Jakarta ada radiogram, utusan PBB akan datang menemui dr. Halim”. Saya bilang, kenapa harus diterima di staf kwartir Kolonel van Langen, emangnya tamu dia. Tamu saya akan saya terima sendiri di tempat saya. “Ya, di mana”, katanya. Di rumah sakit ini, serahkan kepada saya. “Apa yang bisa tuan dokter suguhkan. [jawabnya] . Kalau pisang goreng, saya masih ada. “Baiklah”, dia bilang. Dia masih ulangi, “dr. Halim tuan betul-betul dokter beruntung. Saya sudah berapa lama usaha cari data: dari TRIP, dari Tentara Pelajar, stukken, untuk memegang dokter Halim Sekarang sudah terpegang [ada lagi] orang yang lebih kuasa dan saya”, kata Letnan Bakker. Ya OK deh, terima kasih. Pukul berapa. Kalau saya tidak salah pukul 9.30. Sebab mereka datang ke Maguwo, terus ke situ. Sudah bicara dengan saya, kabur lagi ke Jakarta. OK baik, saya bilang. Dia pergi. Dia masih geleng- geleng kepala juga kepada saya. Saya tentu bilang sama dr. Samalo, direktur saya, [kepada] kawan saya dr. Darwis yang sekarang di Tanjung Karang; Prof.Piccauly telah meninggal, dulu masih dokter ahli bedah di Medan; dr. Sudarmadji, geneakolog juga sudah meninggal; dan tentu juga pada suster-suster. Oooo orang gembira semua deh. Soal makanan beres. Mereka (PBB) itu datang tiga orang.

T: Siapa saja itu.

J: Itulah yang saya lupa nama-namanya. Tentu kita memperkenalkan diri, bukan. Ketika kita mau mulai, mereka tanya sama saya mengenai pak Wiryo. Mereka mendapat kabar, bahwa dia dilabrak oleh serdadu Belanda, disiksa dan sebagainya. Saya bilang, no, tidak benar. “Nah dokter sendiri bagaimana”, [kata mereka]. You see. Bahwa saya dapat tendangan itu ada, tapi itu iseng di Malioboro. Saya duduk di trotoir persis kayak begini (sambil mencontohkan). Ya barangkali menurut mereka apa [salah]. Tendang saja. Saya sudah tahu bahwa itu akan terjadi. Saya sudah siap, bukan saya lawan. Saya pikir ini tidak apa-apa. Saya juga tidak marah. Tapi memang saya sering masuk perangkap. Saya jalan, [cari] berita tiap hari. Kadang-kadang saya pikir apa yang harus saya kerjakan. Saya lihat suasana hening. Orang sudah tidak ada di jalanan. Saya masth. terus dengan sepeda saya, tahu-tahu sudah ada tank di situ. Lagi ada pembersihan. Lalu saya dibawa ke markas besar. Mereka sudah kenal saya, “dr. Halim lagi ya”, kata mereka. Jadi tidak apa-apa. Dan saya lebih kurang ajar lagi. Saya bilang, kalau begitu boleh dong saya minta minum di sini. Dapat, itu terhadap saya. Jadi saya tidak ada keluhan. “Nah baiklah kalau begitu. Ini mission kita. Di kalangan PBB sekarang besar keinginan untuk mengembalikan Yogya kepada Republik Indonesia. Cuma juga banyak rumours bahwa jika itu terlaksana, PKI akan berkuasa…”

T: Itu kata utusan PBB.

J: ya kata mereka. Saya bilang saya sangat girang mendengar, dan segeralah Yogya dikembalikan. Sebab, tuan-tuan kalau boleh saya bercerita sedikit ya, tuan boleh lihat map dan segalanya. Tanya semua orang Belanda, tentara yang netral ya; tanyakan kepada mereka, apakah jalan yang begitu datar antara Solo dan Yogya 60 km itu pernah aman. Itu kesatu. Kedua, berapa kali sebulan yang konvoipun tidak bisa lewat walaupun dengan tank-tank. Nah tuan-tuan kalau mau lihat bagaimana Yogya saya bilang, balk, alangkah baiknya kalau tuan bisa berangkat pukul 4.30 dari Maguwo. Tuan-tuan saya bawa berjalan.
Setelah pukul 13.30 Yogya sudah sepi. Saya bahasa Inggris, in the long run, lambat laun Belanda mesti kalah. Rakyat kami tidak bisa [diaml, saya alami sendiri. Apa perlu saya cerita hal-hal lain untuk tuan-tuan. “Tidak, kami sudah percaya, kami sudah banyak mendapat info info lain”, [kata mereka]. Syukurlah. Sekarang bagaimana ini. “Kami dapat info bahwa PKI yang akan berkuasa”. Saya bilang saya berani mengatakan tidak mungkin. Segala sesuatu akan berjalan sebaik-baiknya, jika yang akan menerima transfer of power adalah Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX. [Dia bilang] , “are you sure dr. Halim“, yang menanya orang Belgia itu. Siapa namanya, bukan van
Zealand. “Good, very good”. Saya yakin bahwa tidak akan terjadi suatu apa jika penyerahan kekuasaan dari Belanda itu dilakukan kepada Hamengku Buwono IX. Terus dia tanya, “you sudah berhubungan dengan beliau”.No, but he is my close friend“, kawab karib sejak dahulu. Lain dari dia tidak ada lagi saya bilang. Sebab tuan-tuan, saya ceritakan sedikit bagaimana orang ini begitu tinggi di mata rakyat. Setelah Serangan 1 Maret yang tuan-tuan tahu, saya bilang, Komandan Brigade Tank datang ke Kraton mau mencari gerilyawan Republik. Masuk ke Kraton mau mencari Let. Kol. Suharto yang ada di Kraton. Intimidasinya bukan main. Hamengku Buwono tidak pakai sandal waktu itu. Biasalah, kayak orang Jawa biasa, tidak pakai sandal. Sri Sultan tidak mengizinkan Kratonnya diperiksa, kecuali beberapa tempat, dan itu diawasi sendiri oleh beliau. Soalnya Kolonel Van Langen datang kepada Sri Sultan, yang mengatakan “Panglima Jawa Tengah, Jenderal Meyer akan datang menemui Sri Sultan untuk bicara-bicara”. Menurut cerita Sri Sultan kepada saya, Meyer memang datang kemudian bersama seorang Belanda Sipil. Dia mengajak Sri Sultan untuk bekerjasama, tentu saja dengan imbalan yang pantas. Belum selesai Meyer bicara, Sri Sultan sudah memotong “saya orang Republik yang menginginkan negara saya merdeka”. Jadi Sri Sultan menolak tawaran Belanda. Karena itu saya bilang, saya sebagai kawan dengan dia, tiap Senin dan Kamis saya ke sana. Jadi saya yakin pada apa yang saya katakan tadi. Mereka bertiga tidak bawa sekretaris. Semua sama tinggi kedudukannya. Sudah. Salamsalaman. Begitulah soal yang mengesankan buat saya. Bahwa, selanjutnya nanti Roem-Royen Agreement, pengambilan Yogya dan sebagainya, bagi saya itu soal lain lagi. Tapi ini fakta bahwa sebelum itu sudah mempunyai [niat] dari PBB.

T: [Mereka] itu datangnya memang pukul 9.30.

J: Pukul 8.30 atau 9.30. Datangnya pagi, dengan maksud supaya kembali lagi toh ke Jakarta.

T: Pertemuan itu lama tidak.

J: Saya kira all in dua jam, ngobrol dulu, bagaimana situasi gini-gini, gitu-gitu dan sebagainya, yang seharusnya ditanya. Tapi kalau soal pokok yang dibicarakan bahwa PBB ingin untuk mengembalikan Yogya. Yang menghambat adalah ada info kalau [Yogya] dikembalikan, PKI akan berkuasa. Itu ditulis, semua ditulis.

T: Kenapa Bapak ingin Hamengku Buwono IX yang menerimatransfer of power.

J: Oleh sebab dia capable, satu-satunya yang mempunyai wibawa pada waktu itu…

T: Pada saat itu.

J: Ya, saya kira pada waktu itu dia punya wibawa jauh lebih tinggi dan Sukarno. Jauh lebih tinggi dari Hatta. Sebab mereka sudah ditahan di Bangka. Sebagai cerita pendek dari saya, Prof. Picauly orang Ambon yang putih itu ketika masih ramai-ramai dulu sewaktu pendudukan Yogya, “satu-satunya orang yang harus kita berikan penghormatan adalah Sri Sultan”, katanya.

T: Tapi kan formil waktu itu Sjafruddin, Pemerintah Darurat.

J: Ya di Sumatera.

T: Di Jawa kan ada perwakilannya.

J: Kita sulit berhubungan; Susanto Tirtoprodjo, Sukiman dan lain-lain; Susilowati juga ikut. Walaupun saya sadar bahwa Sjafruddin adalah pemimpin pada waktu itu saya tidak bisa kalau garansi mau saya kasihkan. Itu saya rasakan, oleh sebab saya tiap hari berada di Yogya, dan mengetahui suasana.

T: Mempunyai legitimacy ya.

J: Ya, dia Kepala Daerah. Dan pada waktu itu dia juga punya kharisma bagi tentara. Barangkali saudara sudah bicara sama Subadio. Saya lupa menceritakan ketika kami hilir mudik di daerah Yogya itu. Dia mengusulkan, “kita mintasurat keterangan dari Sri Sultan, supaya bisa ke mana-mana”.

T: Realisasi dari pertemuan Bapak dengan tiga orang [utusan] PBB itu bagaimana.

J: Persoalannya ini kan. Cuma satu bagian, satu episode daripada sejarah pengembalian Yogya. Sudah itu ada “Roem-Royen Agreement”, dan sebagainya. Seperti pernah saya katakan, Bung Hatta minta supaya Roem mulai mengadakan perundingan ketika masih di Bangka. Walaupun saya bukan juris, bagi saya itu tidak benar. Tapi Belanda tahu juga. Walaupun begitu mereka teruskan. Mereka pura-pura tidak tahu dengan keadaan begitu…

T: Ya, makanya tadi saya tanyakan kepada Bapak, kenapa Bapak mengusulkan Sri Sultan, yang pada saat itu hanya bagian dari segi Sistem pemerintahan Indonesia.

J: Ya, kepala daerah. Sebab at that time saya yakin. Tidak ada orang yang mempersoalkan pada waktu itu. Begitulah kharismanya Sri Sultan.

T: Ya, ya.

J: Biar Sjafruddin, biar Mr. Rasjid, tidak bisa. Saya kira semua berpendapat begitu. Tidak masuk di akal saya, siapa orang lain waktu itu akan bisa. Wibawa Sri Sultan waktu itu tidak bisa diukur. Jadi apa yang saya katakan ke Panitia PBB itu terlaksana, saudara bisa lihat foto-foto saya, itu masih ada, di mana Sri Sultan rnemberi order. (diam sebentar).

T: Nah, sehubungan dengan Pemerintah Darurat RepublikIndonesia tadi, bagaimana peranan Bapak dalam hal ini. Bisa Bapak ceritakan sedikit bahwa Bapak disuruh oleh pak Hatta [ke sana] .

J: Ya begini saudara Chaniago. Sebetulnya saya punya pikiran ingin hadir kalau Yogya dikembalikan.

T: Kenapa.

J: Dengan sendirinya, saya sudah merasa diri saya sebagai orang Yogya. Karena surat dari Bung Hatta sebagai Wakil Presiden. “Bung Halim, saya ingin sekali atau saya minta saudara ikut menyertai Bung Leimena, Bung Natsir untuk menjemput PDRI. Karena saya tahu betul bagaimana hubungan Bung Halim dengan Sjafruddin, dengan Lukman Hakim, Mr. Rasjid, Sitompul dan sebagainya”.Nah karena saya dapat [tugas] begitu, saya tidak punya pilihan, sebab sampai sekarang itu Bung Hatta sangat dekat dengan saya. Sejak jaman Jepang sangat akrab. Jadi begitu jugalah ketika dia minta kepada saya, I get to go. Dan karena itu saya mengikuti. Leimena ketuanya, [dengan] anggota: Natsir, saya, dan almarhum Agus Djaman sekretaris.

T: Empat orang.

J: Ya.

T: Waktu itu Bung Hatta memberikan surat kepada Bapak itu masih di Bangka, [atau] sudah kembali.

J: Saya tidak tahu, yang jelas ada surat di rumah. Maaf saya tidak tahu lagi itu. Yang saya tahu, saya tidak begitu antusias, begitu pula Bung Natsir.

T: Kenapa.

J: Ya. Trace Bangka itu kita tidak begitu menyetujui. Pendeknya begitulah. Saya rasa ada baiknya saudara Chaniago bisa berbicara dengan Bung Natsir.

T: Ya. Prosesnya bagaimana.

J: Nah, datanya kita tidak tahu, saya sudah lupa.

T: Perjalanan saja.

J: Kami sampai dengan kapal terbang di Padang, terus ke Hotel Muaro.

T: Tidak di Bukittinggi turunnya.

J: Tidak, [via] Padang. Terus dibawa dengan konvoi (diam sejenak) ke Bukittinggi. Bung Natsir entah nginap di mana, tidak ingat lagi saya. Saya menginap di rumah Oom Yusuf, dr. Yusuf sudah meninggal, isterinya orang Menado, nyonya Thomas, juga seorang dokter. Dus saya menginap di situ. Esok paginya baru di bawa dengan konvoi ke Payakumbuh. Saudara jangan salah paham kita sebentar-sebentar mesti berhenti sebab takut dihadang, walaupun jarang terjadi. Jadi walaupun Bukittinggi-Payakumbuh itu 33 km, paling kurang ada lima kali berhenti. Nginap lagi di situ. Dan di situlah Belanda menceritakan bagaimana [pejuang] menembak mereka dengan bedil kocok (sambil ketawa geli).

T: Bedil kocok senjata berburu itu.

J: Ya. Enak Belanda itu cerita. Saya bilang, kalian di sini enak saja. Ketika kami berhenti, ada anekdot. Coba kalau di Yogya—Solo begitu. Untung kalian. Kalau di sana mampus kalian. Dan saya bilang [pada Natsir], Sir bagaimana ini gerilya di sini, daerah begini enak, Eh diam saja Bung Natsir (sambil tertawa terbahak-bahak). Dia tidak jawab. Dia orang Minang, saya kan suka ngejek. “Saya orang Jawa Lim”, bilang Natsir mengejek saya. Dia kan keki. Nah sesudah kami berangkat dari Payakumbuh, dengan susah payah berjalan di atas jalan yang bukan jalan, sampai kami di last post dari Belanda.

T: Paling ujung.

J: Paling akhir. Di situ kopor-kopor kami diserahkan kepada masing-masing. Dan [bawa] bendera putih, dengan [ban] putih di lengan. Kalau kami ke sana orang tahu, bahwa kita itu bukan misi untuk apa-apa. Menurut cerita Belanda, mereka sudah mencoba mengadakan “local cease fire“, di dekat front itu, di daerah itu. Celakanya saya yang diserahi membawa bendera putih. Leimena bilang, “diantara kita bertiga ini kamu yang termuda, jadi tidak bisa mengelak”. OK. Jadi kami berjalanlah. Banyak pohon-pohon yang rubuh. 3 atau 4 jam berjalan, tidak ada jalan besar, tidak ada umat. Rumah tidak ada isinya, akhirnya tahu-tahu disergap.

T: Oleh [siapa]

J: Tentara kita, Mayor Thalib [sudah meninggal, Mayor Jenderal] , sebelumnya pernah Dubes di Malaysia. Pada waktu itu masih mayor; yang menyergap kita. Sudah tahu, semua kami memperkenalkan diri. Berjalanlah kami jauh ke desa Padang Japang namanya. Padang Japang itu, di suatu rumah, wah ramai deh sudah. Orangnya sebelumnya mengungsi semuanya kan. Ramai.

T: Jadi daerah pengungsian jadinya…

J: Ya, betul. Sore hari dapat makan, Mr. Nasrun (almarhum) datang, semuanya datang satu persatu; Laksamana Nazir, Mayor AURI Suyono atau siapa ya, dia seorang Katolik, kami panggil dia haji saja. Nah, sudah lengkap. Malamnya sudah makan, saya tidur. Dan Natsir juga ikut kurang ajar. Dia suruh saja Leimena, karena dia ketuanya, sebab Natsir juga tidak yakin. Tapi Natsir orang baik [akhirnya] dia dampingi terus Leimena. Kalau saya tidak [mau]. Saya bilang, kalian aman saya bawa ke sini, gua tidur aja toh. Jam 3.30 pagi Leimena datang. “Lim kamu ini kurang ajar”, bahasa Belanda. “Mereka tidak mau”. Ya sudah, saya mau tidur, saya bilang. Dia tidak mau pergi. Saya sudah bilang, gua dapat surat dan Hatta [hanya] untuk mengantar. Dia tidak minta saya harus pengaruhi mereka. Gua tidak mau. Tidur. Tidak tahu itu pukul berapa, keki Leimena. Dia juga capek. Paginya saya bangun. Eh kami pergi ke pancuran. Mau mandi. Datang Mr. Rasjid; Mr.Lukman Hakim, Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Mr. Rasjid, dia kan Gubernur Militer; Sitompul; Mr. Nasrun tidak ikut. Leimena tidak ikut. Natsir tidak ikut. Sudah mandi, Mr. Rasjid [bilang], “Lim ini bagaimana sih. Coba cerita yang benar”. Belum saya jawab, Sjafruddin sudah bilang, “ah je ini ngapain ikut kesini”. Sjafruddin saya bilang, bahasa Inggris itu, saya [berdiri] antara dua blok deh. Yang mana gua mesti pilih, gua tidak tahu, trace Bangka apa kalian. Kenapa gua bersedia untuk datang ke sini, coba you just imagine. Lukman [bilang] , “udah deh. Je sudah punya conviction kita mesti kembalilah” Baik juga kalau sudah mandi, otaknya terang dikit. Ramai. “Gua kemplang lu nanti”, [kata] Sjafruddin. Tanpa debat, kami pulang, bersama pulang. Ketika makan saya bilang Leimena, gua tidak pidato kayak lu sampai jam 3.30. Tidak ada urusan. Sekarang mereka bersedia untuk pulang. Ini tidak dilebih-lebihkan, sedikitpun tidak dibikin dramatis. It is the truth. Udah, wah pulang. Cuma di jalan pulang itu kita terus pidato, di sini, pidato di situ.

T: Untuk apa.

J: Untuk rakyat. Rakyatnya kan begitu ‘tu. Saya bilang itu ketuanya dr. Leimena. Itu Menteri Penerangan, Bung Natsir, Kenapa saya. Saya bilang kalau segala perkataan Leimena, Bung Natsir. dan saudara Sjafruddin Prawiranegara itu dicamkan saya kira cukup. Dus saya cukup segitu saja deh. Saya punya pikiran, saya kira bisa ke kampung halaman ke Bukit tinggi ya toh. Tidak tahu diambil jalan oleh Belanda tidak melalui kota Bukittinggi, artinya by pass town. Melalui jalan lambau terus ke Muaro. Dia putar begitu, sehingga tidak melalui keramaian. Di luar kota, artinya dekat luar kota. Keluar sebelah Selatan, sampai di luar kota terus ke Muaro.

T: Padang.

J: Baru di situ Sjafruddin marah-marah. Dia banting pintu. “Oh, kenapa kita mesti kembali”, teriaknya. Lukman bilang, “hai, Mang Udin tu”. Kami memanggilnya “mang Udin”. Memang kita sudah rapat-kan, dan sudah diputuskan kembali saja, saya bilang. Sorenya kami masih sempat jalan-jalan di pantai Padang. Jadi kita repeat di sini. Dengan itu kembali ke rumah saya di Jalan Muria 19. Na itulah soal PDRI kembali. Saya dan Sjafruddin sudah kenal satu sama lain. Kita sudah tahu mengukur 1Q kami. Kalau orang PDRI keras, tidak mau kembali, saya tidak bisa bayangkan, apa yang akan terjadi. Mungkin bisa perang saudara.

T: Apa yang menyebabkan mereka kembali.

J: Menurut saya, antara lain juga human factor, isteri dan anak-anak yang sudah lama menunggu di Jawa. Kan malam itu sudah gagal deh, tetapi terus pergi dengan saya ke pancuran itu. Rupanya pikir keluar pertanyaan, “ngapain lu ke sini Lim”. Saya bilang sayapun merasa diri beradabetween the devil and the deep sea, mana yang harus dipilih, tetapi akhirnya saya datang menjemput kalian dan jika saya tak ingini kalian kembali, tentu saya tak kan gubris permintaan Hatta dan tentu saya tidak akan datang.

T: Ya.

J: Saya kira begitulah.

Red : (Wawancara selesai, omong-omong perpisahan).

https://aswilblog.wordpress.com/2008/12/09/kenang-kenangan-dr-abdul-halim-bab-viii/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.