Pacu Jawi di Bukit Tinggi

Pacu Jawi, apa gerangan yang terfikirkan oleh tuan apabila disebut pasa itu? Kami yakin tak satupun yang mengarah ke Bukit Tinggi atau ke kampung halaman tuan sendiri. Kecuali kebiasaan ‘pacu jawi’ masih diselenggarakan di kampung tuan. Karena pada masa sekarang, hanya dapat dihitung dengan jari sahaja nagari-nagari di Minangkabau yang menyelenggarakannya. Sekarang, setahu kami hanya ada beberapa nagari di Luhak Tanah Data dan Limo Puluah Koto. Di Luhak Agam? mungkin telinga kami kurang nyaring, sudilah kiranya tuan-tuan memberi tahu kami.

Foto serupa tapi tak sama juga pernah kami dapatkan, telah kami buat tulisannya pada tanggal 22 April 2016 (atau silahkan klik DISINI). Eloklah tuan-tuan silau jua tulisan kami yang tak tahu ujung pangkalnya itu, sebab kami takkan mengulangnya disini.

Gambar ini telah mengalami pewarnaan, pada tebing labuah lereng tampak tulisan “Pakan Malam 2-8 Juni ’26”. Menarik membacanya karena pada tahun 1907 dan tahun 1908 juga pernah diadakan Pakan Malam dan juga diadakan di bulan Juni. Apakah arti bulan Juni bagi orang Belanda itu? Kenapa pada bulan ini mereka selenggarakan?

Mungkin karena menurut Belanda, Bukit Tinggi atau mereka menamainya Fort de Kock resmi berdiri menurut mereka ialah pada tanggal 3 Juni 1826, yang kemungkinan merujuk kepada pendirian benteng oleh Kapten Beur. Tapi anehnya pada tahun 1907 diselenggarakan mulai tanggal 28 Juni.

Baiklah tuan, bagaimana kita kembali memandangi gambar yang telah diwarnai ini. Tidak tampak jelas kerbau yang sedang berpacu, apalagi hanya seekor sahaja yang terekam oleh tukang kodak. Namun yang menarik perhatian kami selain tulisan ‘Pakan-Malam’ yang besar itu ialah suasana disekitar.

Ramai orang tegak di labuah lereng menonton pacu jawi ini, sedangkan yang berbaris rapi di tepi jalan tidak hanya. Yang ada hanya sekelompok orang pada bagian kiri dan kana foto. Di jalan – Perintis Kemerdekaan sekarang namanya – terparkir 3 oto (setidaknya itu yang tampak oleh kami). Keadaan pada masa itu bersih dan rapi.

Kemudian pandang kami beralih ke bagian atas labuah lereng. Pada bagian sebelah kanan tampak bangunan permanen, dan pada bagian tengah hingga ke arah kanan tampak bangunan loods beserta tudung besar para pedagang. Apakah itu Loos Lambuang sekarang, yang awalnya merupakan Loos Dagiang?

Satu-satunya bangunan loos yang masih bertahan peninggalan masa kolonial hanyalah di Pasa Bawah dan sekarang digunakan sebagai loos dagiang. Akankah hilang pula nanti tuan?

============

Pict: FB Roman Saisuak | Baca Juga: Pacu Jawi di Aua Tajungkang | Labuah Lereng | Aua Tajungkang, Pasa Lereng, & Rice Field |

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.